Lepas Landas
![]() |
via berita2bahasa.com |
Satu jam yang lalu aku tiba di ruangan ini. Ruangan ini
tampak rapi dengan alat-alat canggih yang saling berhubungan satu sama lain.
Seolah-olah segala perlengkapan sudah siap dibawa dalam penerbangan.
Aku bisa melihatnya lagi. Aku masih ingat, ketika ia ingin
bertemu, tetapi aku belum bisa memenuhi keinginannya . Kali ini, aku tidak akan
melewatkannya. Dia selalu merasa sama seperti yang lain. Dia tumbuh dan
berkembang menjadi dewasa. Dia berlari mengejar harapan .
Dia terbang dengan semangatnya. Dia tak pernah takut jatuh.
Dia pun bangun kembali. Dia selalu ingin terbang sebebas-bebasnya. Dia selalu
berlari sekencang-kencangnya. Sampai pada titik istimewa yang Tuhan Anugrahkan
kepadanya.
“Abang sudah membaik?.” Kubelai rambutnya yang mulai
berkurang. Tangan hangatnya kugenggam erat. Dia berbaring dan tersenyum.
“Sudah. Alhamdulillah sehat. Adek mau dibawakan apa kalau
diwisuda?” Sembari memaksakan diri untuk duduk. Ditariknya selimut putih untuk menutupi
setengah badannya.
“Tiduran saja! , Kesehatan abang adalah kado istimewa saat
adek diwisuda. Janji ya, bang! Nanti kalau sudah sehat kan kita bisa nulis
lagi.” , ia menatapku sejenak. “Abang pasti datang.” , jawabnya dengan yakin.
Dia menolak menyerah; membagi kebahagiaan; melupakan
gambaran buruk; pun melawan ketakutannya. Dia selalu istimewa. Tidak ada
gambaran buruk, meski aku melihat jelas matanya yang mulai sayup. Pipinya mulai
membengkak. Ya, itu efek musuh-musuh berbahaya yang mulai menyerangnya satu
tahun yang lalu.
![]() |
via anitadwi27.blogspot |
Selang-selang udara sudah menempel pada hidungnya. Sangat
berbeda denganku yang masih bisa leluasa menghirup udara tanpa bantuan alat.
Kami mulai membereskan segala perlengkapan pribadi abang
untuk kubawa pulang. Kekuatan seorang ibu tidak dapat diragukan. Ibu masih
setia mendmpinginya; mengganti pakaiannya; mengelap tubuhnya; merapikan tempat
tidurnya; mengenggam tangannya; menuntunnya pada Tuhan.
Aku yakin bahwa Tuhan sayang padanya. Karena itulah Tuhan
memberikannya keistimewaan. Leukimia! Ya, itulah keistimewaan yang luar biasa,
sebab tidak banyak yang kuat sampai titik itu.
Ternyata aku harus sudah pulang. Ada ujian yang harus
kutempuh esok hari. Sangat terpaksa aku harus meninggalkannya di ruangan itu.
Aku yakin, Tuhan selalu menjaganya.
“Adek pulang ya, bang. Abang harus sehat! Kan abang janji
mau jadi kado istimewa kalau adek diwisuda.”
Suaranya mulai pelan. Bahkan aku harus mendekat untuk bisa
mendengar jawabannya. Dia tertawa, mekipun tidak terdengar jelas. Sebisa
mungkin, orang-orang yang ada di ruangan itu bisa menahan air matanya. Aku pun
melakukan hal yang sama.
“Adek harus lulus dulu, senangkan hati bapak dan ibu.”
Kucium tangannya yang sudah mulai dingin. Mungkin, abang
harus sudah istirahat. Kurasa sudah mulai sore juga. Ibu mengantarku sampai ke
depan pintu.
![]() |
via rumaysho.com/ |
Aku terbangun dari tempat tidurku. Aku pun bergegas
berangkat ke Magelang untuk bertemu abang. Tidak terasa, hari ini genap empat
puluh hari kepergiannya. Do’anya terkabul. Dia terbang sebebas-bebasnya kemana
pun ia mau. Tuhan benar, bahwa abang akan selalu menjagaku.
Aku yakin, dia ada di dekatku ketika aku mulai menuliskan
cerita-cerita ini. Kuharap abang sedang tersenyum membacanya. Kata abang,
“Menulislah untuk menginspirasi, sebab dalam tulisan, kita bisa meniupkan
harapan-harapan atas gambaran buruk sekali pun,” dan aku meyakiniya.
Karya Amalia Damaianti
Post a Comment for "Lepas Landas"
Komentar