Ku Pergi Demi Agama dan Akhiratmu
Akhirnya hari ini aku putuskan meninggalkan pondok
pesantren ini, semua kulakukan semata-mata demi Agama dan engkau .
Senang rasanya bisa menimba ilmu dan belajar banyak hal
bersama ayahmu, bahkan berjuang bersama untuk memajukan yayasan ini. Aku tahu
engkau pasti sedih, namun semua harus kulakukan agar semua bisa berjalan sesuai
harapan . Kulihat benih-benih cinta mulai tumbuh dimatamu, rasanya tak kuat aku
memendam terlalu lama lagi, aku harus pergi, kisah dan perasaan yang begitu
besar untukmu harus ku akhiri. Engkau tak perlu tahu alasan sebenarnya kenapa
aku meninggalkan tempat ini, cukuplah hanya aku dan Allah saja yang tahu.
Memang kurang sopan rasanya berpamitan dengan abah juga denganmu hanya lewat
surat. Sama halnya saat dulu kulakukan terhadap ibuku ketika aku memutuskan
pergi mengembara sampai akhirnya kita dipertemukan ditempat yang penuh ilmu
ini. Namun jika aku langsung berpamitan pada abah dan juga dirimu, aku takut
engkau , terlebih abah mengetahui alasan kepergianku, karena sungguh aku tak
bisa membohongi perasaan hatiku, betapa aku sangat mencintaimu, mencintai abah,
dan tempat ini. Aku tak mampu menyembunyikan semua ini dari mataku, yang
mungkin bisa dengan mudah kalian lihat. Rasanya ingin sekali aku berjuang
bersama kalian untuk bisa memajukan yayasan ini. Tapi sudahlah ini harus aku
lakukan.
Kulangkahkan kakiku satu demi satu, melewati setiap jalan
yang semakin menjauhkan kita. Sesekali kulihat kebelakang menatap tempatmu dari
kejauhan. Tak sanggup kumenahan, akupun langsung sujud dalam tangisan . “Rabb
kuatkan hambamu, hamba lakukan semua ini demi masa depan Agama dan generasinya.
Jangan engkau biarkan hamba terlalu mencintai makhluk-Mu melebihi
mencintai-Mu”.
Air mata ini tak bisa kubendung lagi, karena langkah ini semakin pasti meninggalkan semua asa,
cinta, harapan dan cinta. Mungkin saat ini engkau bahkan justru abah sedang
membaca surat permohonan maaf dan pamitanku. Mungkin abah marah dan mengaggap
aku murid yang tidak tahu terimakasih , atau justru abah mengetahui alasan
kepergianku.
Namun jika ingat apa yang dikatan abah, aku yakin aku kuat.
Selama ini akupun tak tahu kalau abah sudah punya calon untukmu, calon yang
sangat luar biasa yang akan meneruskan perjuangan abah dalam mengajarkan ilmu
dan ajaran Agama ini pada manusia. Seorang anak ulama besar yang kini sedang
menuntut ilmu di Mekkah Al Mukaromah, yang ia akan dijadikan abah sebagai
kejutan untuk satu-satunya anak perempuan yang ia miliki. Satu-satunya anak
abah yang suaminya harus bisa meneruskan tugas abah sebagai kepala yayasan juga
pengajar utama dipondok pesantren yang telah banyak memberiku ilmu. Ketika
pertama kali mendengar cerita ini langsung dari abah, rasanya seperti terdengar
suara petir yang begitu dahsyat sehingga sangat mengagetkanku. Apalah daya aku
hanya bisa memendam cinta ini untukmu, meski aku yakin kau memiliki rasa yang
sama, karena matamu tak pernah bisa membohongiku. Jika bukan karena Allah dan
Agama ini tentu aku takan mungkin mampu mengikhlaskanmu untuk dimiliki siapapun,
namun aku yakin pengorbanan yang bagiku sangat besar ini masih kurang jika
dibandingkan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail dulu.
Bagiku yang hanya seorang hamba tentu masa depan Islam, yayasan, dan Akhiratmu
lebih berharga daripada cintaku ini.
Hingga akhirnya inilah jalan yang kupilih.
Kini matahripun mulai menghilang dari peraduanya, tanda
malam akan segera tiba. Meski saat ini aku berada didalam hutan, bekal pengalamanku
saat berkelana dulu adalah suatu bekal berarti. Karena dulu aku sering bermalam
diatas pohon ketika dalam pengembaraan itu.
Malam ini kembali mengingatkanku akan masa lalu itu, meski rasanya aku tak percaya sudah 7 tahun meninggalkan rumah. Bagaimana
kabar ibu, bagaimana keadaan ayah…. Semua ada dalam pikiranku saat ini. Dulu saat aku pamit padanya ingin
belajar arti hidup, aku ingat mereka sedang tidak ada dirumah. Meski malam
sebelum kepergianku aku sudah menceritakan maksud dan tujaunku rasanya setelah
aku dewasa sekarang aku merasa sangat bersalah atas apa yang kulakukan. Karena
saat aku pergi aku hanya menyelipkan surat di saku baju ayah dan ibu, yang
kutulis pada lembaran daun pisang, selain pamitan juga memberi tahu mereka kalau kambingnya aku jual satu
untuk bekal mengembara menuntut ilmu Agama dan Ilmu Kehidupan.
Bahkan kini jalan-jalan yang dulu kulalui sangat terasa
asing, banyak perubahan. Disekitar hutan sekarang sudah banyak pemukiman.
Padahal 7 tahun yang lalu, hutan ini
begitu sunyi seakan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Dulu betapa sering aku dijegat para perampok, karena mereka
pikir gendolan pakaian ku ini adalah harta yang sangat berharga. Entah berapa
kali aku berkelahi dengan mereka , bukan untuk mempertahankan gendolanku namun
untuk memberi mereka pelajaran supaya
insyaf.
Rupanya hari sudah malam, mungkin lebih baik aku naik keatas
pohon untuk merebahkan tubuhku, menikmati nostalgia malam-malamku dulu bermalam
diatas pohon-pohon besar dihutan.
4 Hari kemudian
Semakin haru rasanya, melihat tempat kelahiran mulai
kelihatan. Jika diingat-ingat sepertinya sekarang sudah tanggal 17 Agustus
1957, dimana Indonesia sudah merdeka 12 Tahun lamanya.
Semoga tidak ada lagi keseweng-wenangan Bangsa lain terhadap
Indonesia dan Bangsa lainnya, penjajahan adalah suatu hal yang sangat tidak
berprikemanusiaan dan tak bermoral.
Setelah 12 tahun lamanya Presiden Republik ini
memproklamasikan kemerdekaan Bangsanya, kini selain ditangan mereka sebuah
tanggung jawab besar, tentu generasi muda bangsa ini tak luput dari sebuah
tanggung jawab agung dalam mengisi dan
mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengansangat bersusah payah,
mengorbankan jutaan nyawa dan darah , bahkan harta.
Akhirnya sampai juga aku kerumah dimana tempat aku
dilahirkan dan dibesarkan dulu, sesampainya dirumah kulihat ayah sedang duduk
dikursi goyangnya.
Tak kuasa sungguh kumenahan haru karena Tuhan telah
mempertemukan kami kembali , dalam keadaan sehat dan lengkap. Kulihat ibupun
sedang menapih beras tidak jauh dari ayah. Tak kuasa menahan haru akupun
langsung bersujud dikaki ibu dan meminta maaf dan restunya, hingga setelahnya
aku lakukan hal yang sama pada ayah.
“Ngger selama bertahun-tahun ini kamu tinggal dimana ?”
Tanya ayah sambil mengusap-usap rambutku
“Nanti dulu toh pa , biarkan anakmu istirat dulu”, sahut
ibu.
“Ayah ibu, sekitar satu tahun lebih ananda mengembara
mencari arti hidup, hingga setelah itu ananda bertemu dengan seseorang yang
luar biasa. Ananda akhirnya memilih mengabdikan diri, menetap dan mengaji di
pondok pesantren milik abah yayi Maulana Malik Ibrahim”, jawabku.
“Apa nak ? kamu mondok
di Kiyai Malik Ibrahim, ulama tersohor itu ?” Tanya ayah, kaget.
“Iya ayah,” Jawabku simple.
“Nak beliau adalah sahabat karib
ayah, sahabat dekat malah. Dulu selama dipondok kami selalu belajar bareng, dan
menjalani suka duka bersama, beruntung sekali engkau bisa belajar dengan ulama seperti
beliau”. Kata ayah.
Timbul kebimbangan dalam hatiku,
betapa indahnya jika abah yayi mengetahui bahwa aku adalah anak dari sahabat
dekatnya . Mungkin bisa dengan mudah aku diterima beliau untuk menjadi
menantunya.
Tapi sudahlah, mungkin ini sekenario
terbaik Allah, aku memang sangat mencintai abah yayi, keluarganya, pondoknya,
terlebih anak perempuannya.
Namun lebih dari itu aku tak bisa
membohongi imanku sendiri, bahwa masa depan Agama dan wanita yang sangat
kucintai itu lebih berharga dari apapun jua.
Kuikhlaskan ia , untuk sesuatu yang
terbaik. Kini aku hanya bisa berharap dan berdo’a agar kelak akupun bisa
mendirikan pondok pesantren seperti abah, dan tentu bimbingan dan do’a restu
ayah adalah modal terkuat bagi cita-citaku.
TAMAT
Post a Comment for "Ku Pergi Demi Agama dan Akhiratmu"
Komentar